Tiongkok Desak Bank Dukung Sektor Properti Setelah Boikot Hipotek

Ilustrasi uang Yuan. (Foto: Narsum.id/Pixabay)

Narsum.id | Jakarta – Regulator perbankan Tiongkok telah mendesak pemberi pinjaman untuk memberikan lebih banyak kredit kepada pengembang real estat, karena semakin banyak pembeli rumah menahan pembayaran hipotek pada proyek perumahan yang belum selesai di 50 kota di negara itu.

Data dari kelompok industri dan analis menyebutkan bahwa para pembeli rumah pada pekan lalu melakukan boikot semacam itu lantaran marah pada penundaan pengiriman rumah pra-penjualan, waktu pengiriman yang tidak jelas dan konstruksi yang dihentikan.

Boikot itu telah memperburuk kekhawatiran penularan keuangan di sektor real estat yang bermasalah di Tiongkok, yang diperkirakan menyumbang 18-30 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan merupakan pendorong utama pertumbuhan di ekonomi terbesar kedua di dunia itu.

Melansir AFP, Komisi Asuransi Perbankan dan Regulasi Tiongkok mendesak bank untuk secara efektif memenuhi kebutuhan pembiayaan yang wajar dari perusahaan real estat, dengan penuh semangat mendukung konstruksi perumahan sewa serta mendukung merger dan akuisisi proyek.

Baca Juga :   PM Italia Draghi Resmi Serahkan Pengunduran Diri ke Mattarella

Mereka juga diminta melakukan pekerjaan dengan baik dalam layanan pelanggan, mematuhi kontrak, memenuhi komitmen, dan melindungi hak dan kepentingan sah konsumen keuangan. Langkah-langkah ini diperlukan untuk menjaga operasi pasar real estat yang stabil dan teratur.

Pihak berwenang meluncurkan tindakan keras terhadap utang yang berlebihan di sektor properti pada tahun 2020, membuat raksasa properti Tiongkok seperti Evergrande dan Sunac berjuang melakukan pembayaran dan memaksa mereka bernegosiasi ulang dengan kreditur saat mereka terancam kebangkrutan.

Bloomberg News melaporkan, regulator bertemu bank minggu lalu untuk membahas pertumbuhan boikot hipotek konsumen, karena lebih banyak pengembang besar Tiongkok tertatih-tatih di ambang default.

Perkembangan datang pada saat pertumbuhan melambat untuk Tiongkok dan penjualan properti yang lemah, menambah risiko stabilitas menjelang Kongres ke-20 Partai Komunis di musim gugur, ketika Presiden Xi Jinping diprediksi akan diberikan masa jabatan ketiga.[]