“Berikan kesempatan pada warga lokal untuk ikut partisipasi dalam menyediakan jasa tur. Jangan sampai pembatasan pengunjung dijadikan alasan untuk memberikan konsesi bisnis, bahkan monopoli bisnis kepada perusahaan tertentu.”
Narsum.id | Jakarta – Anggota Komisi IV DPR RI Yohanis Fransiskus Lema, mempertanyakan kenaikan tarif Taman Nasional (TN) Komodo yang mencapai Rp3,75 juta per orang dan paket Experimentalist Valuing Environment (EVE) senilai Rp15 juta. Menurutnya, jika alasannya adalah konservasi mengapa berujung pada komersialisasi tempat tersebut.
“Bicara konservasi kok ujungnya komersialisasi melalui monopoli bisnis?” tanya pria yang kerap disapa Ansy Lema ini, Sabtu, (16/07/2022).
Menurut Ansy, bila hendak melakukan pembatasan pengunjung dan menjaga konservasi, cara yang dilakukan tidak bisa dari sisi kenaikan harga. Dalam hal ini, Pemerintah bisa melakukan pembatasan dengan pengaturan lalu lintas kunjungan secara terjadwal.
Oleh sebab itu, Ansy mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk dapat melihat kebijakan terhadap Pulau Komodo dan Padar secara komprehensif.
“KLHK harus membuat kebijakan dengan dasar dan pertimbangan ilmiah yang jelas. KLHK adalah penjaga konservasi. Tidak boleh ada kepentingan-kepentingan tertentu yang menunggangi konservasi, padahal maksud tersembunyinya untuk mendapatkan keuntungan ekonomis fantastis,” tegas Ansy.
Pada prinsipnya, lanjut Ansy, ia menyetujui pembatasan pengunjung dalam kajian Daya Dukung Daya Tampung Wisata (DDDTW) yang dilakukan oleh para ahli. Tetapi, mengapa menurutnya pembatasan pengunjung yang katanya dilakukan untuk menjaga konservasi malah menjadi ajang komersialisasi secara brutal?
“Ini kritik keras saya terhadap KLHK sebagai penjaga konservasi di Indonesia,” tandasnya.
Ansy menegaskan, hal utama yang patut dipertanyakan dalam studi DDDTW adalah merekomendasikan pembatasan, tetapi mengapa di saat bersamaan KLHK memberikan izin salah satu perusahaan BUMD sebagai pengelola tunggal.

“Tidak benar atas nama konservasi, lalu dijawab dengan mengenakan tarif masuk yang tinggi. Memangnya negara ini hanya milik yang bayar? Di mana letak keadilan sosial? Apalagi, jika kebijakan itu diberlakukan bagi wisatawan domestik yang adalah anak bangsa sendiri,” sebutnya.
Menurut Ansy, agar dana bisa masuk secara optimal ke kas pemerintah daerah, maka penjualan tiket bisa dilakukan melalui platform digital atau e-commerce. “Dana hasil penjualan tiket juga harus dikembalikan dan dimanfaatkan untuk pengelolaan wilayah konservasi demi keberlangsungan margasatwa di Pulau Komodo,” ucapnya.
Selain itu, pengenaan tarif terkait wildlife and nature tourism mestinya merujuk atau memiliki referensi terkait biaya tiket yang diberlakukan di wilayah/negara lain sebagai parameter untuk wisata sejenis.
Ansy pun mengungkapkan, dua kejanggalan utama yang menjadi catatan penting.
Pertama, pembatasan pengunjung tetapi membuka usulan paket wisata bernama Experimentalist Valuing Environment (EVE) ke Pulau Komodo. Paket wisata EVE ini, dikelola oleh salah satu BUMD dengan biaya Rp15 juta per paket yang usulan alokasinya sebagai berikut:
1. Rp2 juta Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) ke pemerintah, khususnya Balai TN Komodo;
2. Rp 200.000 Pendapatan Asli Daerah (PAD) ke Pemprov dan Pemkab;
3. Rp100.000 biaya asuransi
4. Rp7,1 juta dana konservasi
5. Rp 5,435 juta fee (upah) perusahaan BUMD tersebut;
6. Rp165.000 biaya pajak.
“Mengapa tiba-tiba ada usulan paket wisata, padahal pemerintah ingin membatasi kuota pengunjung?” tandasnya.
Sementara pemerintah pusat menurut Ansy terkesan mengutamakan perusahaan BUMD tersebut. Padahal, tugas pemerintah adalah membuat regulasi, tetapi mengapa kemudian ingin bermain dalam ranah penyedia jasa tur ke Pulau Komodo dan Padar?
“Berikan kesempatan pada warga lokal untuk ikut partisipasi dalam menyediakan jasa tur. Jangan sampai pembatasan pengunjung dijadikan alasan untuk memberikan konsesi bisnis, bahkan monopoli bisnis kepada perusahaan tertentu,” ujar Ansy.
Apalagi, lanjut Ansy, bila melihat komposisinya, jumlah uang yang masuk ke PAD sangat kecil, dibanding upah yang masuk ke BUMD tersebut.
Sementara yang kedua, mengenai pengenaan beban biaya konservasi kepada masyarakat awam melalui kenaikan tarif. Menurut Ansy, biaya konservasi tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada masyarakat, dalam hal ini adalah orang yang mau berwisata. []
Leave a Reply