Agar Koperasi Miliki Pabrik Minyak Goreng, Berikut Rekomendasi KemenKopUKM

Ahmad Zabadi
Deputi Bidang Perkoperasian, Kementerian Koperasi dan UKM, Ahmad Zabadi (Foto:Narsum.id/KemenKopUKM)
Ahmad Zabadi
Deputi Bidang Perkoperasian, Kementerian Koperasi dan UKM, Ahmad Zabadi (Foto:Narsum.id/KemenKopUKM)

Jakarta – Deputi Bidang Perkoperasian, Kementerian Koperasi dan UKM, Ahmad Zabadi menyampaikan, agar koperasi memiliki pabrik minyak Goreng, pihaknya memiliki 6 rekomendasi yang dihasilkan melalui acara Focus Group Discussion (FGD).

Adapun 6 rekomendasi yang dihasilkan dalam FGD bertema Pengolahan Minyak Goreng Oleh Koperasi: Tantangan dan Peluang yang diselenggarakan di Jakarta, Selasa, (17/05/2022) adalah sebagai berikut:

1. Pengembangan minyak makan merah (Red Palm Oil) dapat menjadi solusi dalam mengatasi masalah dan isu ketersediaan dan harga minyak goreng yang terjadi di Indonesia saat ini.
2. Produksi dan pengolahan minyak makan merah akan menciptakan nilai tambah yang tinggi bagi petani melalui skema korporatisasi pangan berbasis koperasi.
3. Minyak makan merah memiliki kandungan nutrisi/vitamin tinggi, yang sehat dan dapat digunakan sebagai solusi atas gizi buruk/stunting dan penyediaan nutrisi bagi masyarakat umum.
4. Lahan sawit rakyat tersebar di berbagai provinsi Indonesia yang perlu dikonsolidasi dan dioptimalisasi bagi kepentingan petani serta peningkatan produk lokal.
5. Pengembangan minyak makan merah menggunakan teknologi tepat guna sehingga dapat dikembangkan dan dikelola berbasis komunitas dengan skala investasi yang terjangkau dan dapat didesentralisasi di berbagai wilayah/regional.
6. pengembangan minyak makan merah membutuhkan skema standarisasi tertentu, di luar standar SNI minyak goreng pabrik.

Atas rekomendasi ini, Deputi Zabadi menegaskan bahwa stakeholder yang hadir bersepakat atas beberapa hal:

1. Mengarusutamakan pengembangan, pengolahan dan penggunaan minyak makan merah bagi koperasi dan UMKM di Indonesia.
2. Membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Pengolahan Minyak Makan Merah oleh Koperasi.
3. Membangun agenda aksi bersama untuk mengimplementasikan pengolahan minyak makan merah oleh koperasi dalam skala komersial.
4. Membuat pilot project di beberapa wilayah di Indonesia sampai akhir tahun 2022.

Deputi Zabadi juga menekankan bahwa Perkebunan Sawit Rakyat yang masih dikelola petani swadaya kecil dengan kepemilikan lahan sekitar 2-4 hektar, dapat berkelompok membentuk kelompok tani, hingga akhirnya dapat mendirikan koperasi sebagai wadah konsolidasi lahan dan petani.

Baca Juga :   Mahfud MD: Musuh Kita KKB Bukan Rakyat Papua

“Itu harus segera dipetakan. Kemudian, kita dampingi. Sehingga kemandirian para petani sawit untuk memiliki bargaining position dalam industri sawit skala kecil dapat diwujudkan,” tutur Zabadi.

Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM (Online Data System/ODS), ada sekitar 454 koperasi sawit di Indonesia dan mayoritas ada di provinsi Riau, yang memang dari presentasi luasan lahan dan kapasitas produksi terbesar, yaitu sekitar 23,57% dari total areal lahan sawit di Indonesia.

Misalnya, salah satu koperasi di provinsi Riau yang secara mandiri telah mengelola kebun sawit seluas 1.562 hektar bersama sekitar 781 petani anggotanya, yaitu KUD Sumber Makmur di Kabupaten Pelalawan, Riau. Selain itu, juga ada KSPPS BMT UGT Sidogiri yang akan mendirikan koperasi sawit di Kabupaten Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.

“Untuk itu, dua koperasi tersebut dapat dijadikan pilot project pembangunan industri sawit rakyat,” tegas Zabadi.

Deputi Zabadi pun berharap, untuk selanjutnya Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) yang ada di 22 provinsi dan Serikat Petani Indonesia (SPI) dapat ikut mengkonsolidasikan para petani sawit untuk memperkuat kelembagaan ekonominya melalui koperasi.

Ia juga menjelaskan, secara umum, kapasitas produksi Crude Palm Oil (CPO) dari TBS untuk 1-5 ton per jam termasuk skala mini, kapasitas rata-rata 5-20 ton per jam masuk skala menengah, dan kapasitas 30 sampai 60 ton per jam adalah skala besar. Dari produksi CPO ini masih diperlukan proses fraksinasi dan proses lainnya sehingga dapat dihasilkan minyak goreng.

Minyak goreng yang dikenal di pasaran adalah yang berwarna kuning jernih dengan SNI 7709-2019 dengan kandungan Vitamin A mencapai 45 IU/gram. Sementara, minyak sawit merah (Red Palm Oil) atau minyak makan merah dapat menghasilkan kandungan vitamin A cukup tinggi, yaitu sekitar 666 IU/gram.

Baca Juga :   Ingin Lihat Komodo? Presiden Sarankan ke Pulau Rinca, Harganya Sama

“Penelitian dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) dan Riset Perkebunan Nusantara (RPN) ini yang perlu kita implementasikan untuk kemudian kita menemukan skala keekonomian dari produksi minyak goreng oleh koperasi,” ungkap Deputi Zabadi.

Bagi Zabadi, kehadiran Badan Standarisasi Nasional (BSN) juga diharapkan dapat secara khusus mengawal proses standarisasi minyak goreng skala koperasi dan UMKM ini. Sehingga, masyarakat bisa mendapatkan pilihan yang rasional dalam memenuhi kebutuhan minyak goreng yang sehat dan terjangkau.

Untuk mewujudkan piloting ini, Zabadi berharap dukungan pembiayaan baik di sisi onfarm, yaitu dengan KUR Perbankan dan dari kelembagaan koperasinya melalui LPDB-KUMKM, baik untuk kebutuhan modal investasi dan modal kerja.

Dalam kesempatan yang sama juga Zabadi menegaskan perlu adanya komitmen bersama (dalam bentuk kesepakatan) untuk pengembangan minyak sawit milik rakyat.

“Ujungnya, kita dapat merumuskan model bisnis produksi minyak goreng oleh koperasi,” tegas Zabadi.

Sementara itu, Deputi Penerapan Standar dan Penilaian Kesesuaian BSN Zakiyah menegaskan bahwa pihaknya akan mendukung koperasi dan UMK dalam menghadirkan produk berkualitas dengan pertimbangan kesehatan masyarakat dan lingkungan.

“Kita dukung program KemenkopUKM dalam mendorong koperasi, juga usaha mikro dan kecil, memiliki industri minyak goreng sawit sendiri,” kata Zakiyah.

Ia juga menjelaskan, sebelum diwajibkan SNI, harus terpenuhi dulu hasil analisa riset dan adanya teknologi yang sudah memungkinkan.

“Kita memiliki program Bina UMK dimana ada pendampingan bagi UMK untuk mendapatkan SNI,” ungkap Zakiyah.

Untuk itu, Zakiyah mengajak seluruh stakeholder untuk berkolaborasi dalam penerapan standarisasi bagi UMK dengan proses yang simpel dan mudah. Ada kemudahan SNI untuk UMK risiko rendah. Mulai dari komitmen diaplikasi OSS-BKPM, aplikasi OSS, hingga Monev Online.

“BSN siap bekerjasama untuk menghasilkan standarisasi minyak goreng merah,” tandas Zakiyah.

Acara Focus Group Discussion (FGD) bertema Pengolahan Minyak Goreng Oleh Koperasi: Tantangan dan Peluang yang diselenggarakan di Jakarta, Selasa, (17/05/2022). (Foto:Narsum.id/KemenKopUKM)
Acara Focus Group Discussion (FGD) bertema Pengolahan Minyak Goreng Oleh Koperasi: Tantangan dan Peluang yang diselenggarakan di Jakarta, Selasa, (17/05/2022). (Foto:Narsum.id/KemenKopUKM)

Pabrik Rp100 Miliar

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Apkasindo Kawali Tarigan menjelaskan bahwa dengan luas lahan kelapa sawit di Indonesia milik petani swadaya dan koperasi sebesar 42% dari total 16 juta hektar, sangat memungkinkan koperasi memiliki industri pengolahan minyak sawit sendiri.

Baca Juga :   BNN Ungkap Pabrik Sabu di Perumahan Elite Sukajadi Batam

“Andai kita memiliki pabrik sendiri, cukup dengan kapasitas produksi 15 ton/jam. Bahkan, yang ada di Pelalawan Riau, kapasitasnya sudah mencapai 30 ton/jam, dengan luas lahan sebesar 7000 hektar,” ulas Kawali.

Dengan begitu, lanjut Kawali, petani swadaya tidak lagi bergantung pada keberadaan pabrik-pabrik minyak sawit milik korporat besar.

“Banyak potensi yang bisa kita kembangkan, sehingga petani juga bisa naik kelas, tidak lagi bergantung pada pabrik minyak goreng yang ada,” sebut Kawali.

Oleh sebab itu, Apkasindo sangat mendukung koperasi memiliki pabrik dan refinary hingga penyuplai minyak goreng.

“Asosiasi siap membantu membangun pabrik di seluruh Indonesia, dengan modal kurang lebih sekitar Rp100 miliar,” ucap Kawali.

Namun, untuk mewujudkan Minyak Goreng Sawit milik koperasi tersebut, masih ada beberapa kendala menghadang. Diantaranya, kebun masih berpencar-pencar, belum ada kepastian pasar, teknologi masih manual, modal usaha, hingga adanya tekanan korporasi besar terhadap petani.

“Tapi, ada juga peluang besar yang bisa dimanfaatkan. Yakni, sudah ada Koperasi Apkasindo, bahan baku melimpah, dan kebun kelapa sawit ada di 22 provinsi di Indonesia,” tandas Kawali.

FGD diikuti juga oleh Staf Khusus MenKopUKM Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan Riza Damanik, Deputi Penerapan Standar dan Penilaian Kesesuaian Badan Standarisasi Nasional BSN Zakiyah, Peneliti Utama Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Donald Siahaan.

Selanjutnya ada Kepala Divisi pada Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit Helmi M, Kepala Departemen Mikro Sales Management BRI Komaryati Diat, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Kawali Tarigan, Agus Ruli Ardiansyah (Serikat Petani Indonesia), dan Jarot Wahyu Wibowo (Direktur Pengembangan Usaha LPDB-KUMKM).

Sedangkan yang hadir secara online adalah Peneliti Utama Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Kementan RI Prof Agus Pakpahan dan Ketua Kelompok Peneliti dan Manajer Inovasi OPSTP PPKS Frisda Panjaitan. []