Peretas Korea Utara Curi Kripto USD 620 Juta dari Game Axie Infinity

Ilustrasi mata uang kripto Ethereum. (Foto: Narsum.id/Pixabay)
Ilustrasi mata uang kripto Ethereum. (Foto: Narsum.id/Pixabay)

Jakarta | The Federal Bureau of Investigation (FBI), pada Kamis (14/04/2022) waktu setempat menyebutkan bahwa peretas Korea Utara bertanggung jawab atas pencurian mata uang kripto senilai USD 620 juta atau sekitar Rp 8,9 triliun bulan lalu, yang menargetkan pemain game Axie Infinity.

Peretasan ini adalah salah satu yang terbesar yang menghantam dunia kripto, menimbulkan pertanyaan besar tentang keamanan di industri yang belakangan ini menjadi tren berkat promosi selebriti dan janji profit segunung.

Dalam kasus pencurian Axie Infinity, penyerang mengeksploitasi kelemahan dalam pengaturan yang dilakukan oleh Sky Mavis, perusahaan di belakang permainan yang berbasis di Vietnam. Perusahaan harus memecahkan masalah: blockchain ethereum, di mana transaksi dalam cryptocurrency eter dicatat, relatif lambat dan mahal untuk digunakan.

Untuk memungkinkan pemain Axie Infinity membeli dan menjual dengan cepat, perusahaan menciptakan mata uang dalam game dan sidechain dengan jembatan ke blockchain ethereum utama. Hasilnya lebih cepat dan lebih murah, namun pada akhirnya kurang aman.

Baca Juga :   PM Italia Draghi Resmi Serahkan Pengunduran Diri ke Mattarella

Beberapa minggu sebelum pencurian di Axie Infinity, juga telah terjadi serangan peretasan serupa dengan nilai kerugian sekitar USD 320 juta.

“Melalui investigasi kami, kami dapat mengkonfirmasi Lazarus Group dan APT38, pelaku cyber yang terkait dengan (Korea Utara), bertanggung jawab atas pencurian tersebut,” kata FBI dalam sebuah pernyataan yang dikutip dari AFP, Jumat (15/04/2022).

Lazarus Group menjadi terkenal pada tahun 2014, ketika dituduh meretas Sony Pictures Entertainment sebagai balas dendam untuk “The Interview,” sebuah film satir yang mengejek pemimpin Korea Utara Kim Jong Un.

Program siber Korea Utara dimulai setidaknya pada pertengahan 1990-an, namun sejak itu berkembang menjadi unit perang siber berkekuatan 6.000 orang, yang dikenal sebagai Bureau 121, yang beroperasi dari sejumlah negara termasuk Belarusia, Tiongkok, India, Malaysia, dan Rusia, menurut laporan militer Amerika Serikat (AS) tahun 2020.[]